Senin, 18 Februari 2008

MEDIA MASSA JUGA PERLU DIATUR

Oleh EDY M YA'KUB

Surabaya, 18/2 (ANTARA) - Media massa perlu diatur ?

Itu pernyataan yang tidak enak bagi kalangan praktisi media massa.

Tapi, pernyataan itu tidak menyeruak secara tiba-tiba, sebab wajah media massa saat ini tampaknya memang sudah sangat berbeda dibanding era sebelumnya.

"Media massa sudah menjadi industri akibat masuknya modal atau kapital dalam industri media massa sejak era 1980-an," kata Ketua PWI Jatim H Dhimam Abror.

Ia mengemukakan hal itu saat mengawali peran sebagai moderator dalam seminar "Membangun Relasi Media Massa dengan Dunia Usaha" yang digelar Fisip Unair Surabaya bersama Depkominfo RI (18/2).

"Logika kapital itu berbeda dengan logika idealisme. Di era industri, media massa mengalami kemajuan teknologi dan juga kesejahteraan," katanya.

Namun, kata jurnalis senior itu, logika kapital menimbulkan persoalan mendasar yakni rendahnya profesionalisme dan ketaatan pada kode etik.

Pernyataan itu dibenarkan staf ahli Menkominfo Drs Henri Subiakto SH MA yang juga pakar komunikasi Unair Surabaya.

"Media massa saat ini bisa 'diperalat' kapitalis akibat masuknya pemodal ke industri media," katanya.

Oleh karena itu, kata Ketua Dewan Pengawas LKBN ANTARA itu, perlu ada regulasi untuk industri media.

"Kalau kebebasan pers nggak perlu diatur, tapi industri media perlu diatur," katanya.

Menurut dia, regulasi untuk TV/radio sudah ada, tapi regulasi media cetak belum ada.

"Untuk lembaga penyiaran (TV/radio) tinggal penegakan hukum dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), sedangkan media cetak justru regulasi-nya yang nggak ada," katanya.


Bukan isi
Senada dengan Henri, pengamat politik Unair Surabaya Daniel Sparringa PhD menilai media massa dalam 10 tahun terakhir memang menjadi bagian dari kekuasaan kapital.

"Dengan kapital, media massa menjadi lebih maju, tapi media massa juga dapat diperalat kapitalis untuk menghantam pemodal lain, menyerang pemerintah, dan menyakiti masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, katanya, media massa sekarang tidak bisa bersikap kritis kepada kapitalis, apalagi banyak media massa yang sudah melakukan usaha di luar media massa.

"Kasus lumpur Lapindo merupakan contoh yang menarik," katanya.

Pendapat senada juga diungkapkan pakar statistik ITS Surabaya Drs Krenayana Yahya MSc.

"Media sudah memiliki lembaga rangking sendiri dan usaha lain, sehingga independensinya dipertanyakan," katanya.

Oleh karena itu, katanya, perlu ada arahan atau undang-undang yang mengatur media massa.

"Tapi, yang diatur bukan content (isi), melainkan industri, misalnya batasan untuk industri media massa itu seperti apa saja," katanya.

Tidak jauh berbeda, pakar politik Unair Surabaya Priyatmoko MA juga mengatakan kedaulatan rupiah sudah merasuki industri media massa dengan masuknya kapitalis.

"Tapi, saya masih punya harapan untuk media massa, karena ada keragaman. Tidak semua media massa itu jelek," kata dosen Fisip Unair Surabaya itu.

Dalam kesempatan itu, pendiri Lembaga Konsumen Media (LKM) Sirikit Syah melontarkan perlunya pemerintah mengembangkan "media watch" seperti LKM untuk mengawasi media massa terkait masuknya para pemodal.

"Media Watch itu perlu, tapi pemerintah harus ikut membiayai untuk keperluan operasional-nya," katanya.

Media massa agaknya boleh saja bebas dalam content, namun media massa dalam artian industri sudah saatnya untuk diatur dan diawasi, agar tak "diperalat" pihak lain dengan mengatasnamakan demokrasi.